Peradaban bangsa Belanda bukan lah menjadi hal yang lumrah lagi saat ini. Bagaimana tidak mungkin negeri yang berada di tengah-tengah ancaman tenggelam saja sampai saat ini masih dijadikan anutan bagi bangsa manapun yang dari tahun ke tahun mengalami bencana banjir layaknya negeri Indonesia, hal ini dikarenakan keberhasilannya membangun pengelolaan berbasiskan ekosistem seperti bendungan dan teknik pengairan yang sangat baik. Berkaca pada kepandaian bangsa Belanda untuk mengelola ancaman – ancaman dari sumber daya alam seperti air maka negeri yang kurang lebih menjajah negera kita ini selama kurang lebih 3 abad ini juga mempunyai peranan yang sangat tinggi dalam pengelolaan sumber daya alam yang lainnya.
Hebat sekali ketika seseorang mengatakan bahwa negara kita memiliki berbagai macam sumber daya alam yang sangat melimpah tapi realitasnya malah kebalikan. Contohnya hutan, mau tidak mau semua orang di Indonesia akan sepakat mengatakan bahwasannya hutan di Indonesia sudah tidak dapat dikatakan sebagai hutan lagi karena dari tahun ke tahun setiap anggapan terjadinya banjir, longsor dan punahnya beberapa species hewan langka adalah tidak lain dikarenakan kondisi hutan yang sudah tidak optimal atau tidak berada pada ekosistem puncaknya. Lalu sebaiknya pada siapa kita “BERGURU?”.
Sebuah pertanyaan besar yang membuat semua pelajar Indonesia berpikir terus menerus tanpa tiada lupa kepada siapa mereka harus belajar. Hutan yang merupakan ekosistem yang dapat menangkal isu perubahan lingkungan pun jadi sasaran empuk bagi pelajar Indonesia untuk dapat mempelajarinya lebih dalam di negeri kincir angin, Belanda.
Jika dilihat dari rentetan waktunya maka dalam pengelolaan hutan di Indonesia, negeri Belanda pun mempunyai catatan sejarah penting mengenai kehebatan pemikiran mereka dimana daya pikir yang dipunyainya digunakan untuk menciptakan keseimbangan ekosistem yang klimaks (puncak) dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Hal ini juga menandai bahwa sebagai “PENJAJAH” mereka tidak hanya menelantarkan rakyat Indonesia semata tetapi juga di luar kesadaran rakyat Indonesia pada umumnya bangsa Belanda juga memiliki peranan positif dari pembangunan sistem kehutanan yang lestari.
Salah satu tokoh utama “PENJAJAH” yang berhasil menorehkan kepintarannya bagi Bangsa Indonesia adalah Ir. A.E.J Bruinsma yang menciptakan system pengelolaan hutan jati di Jawa menjadi beberapa kawasan terkecil yang dinamakan houtvesterij. Pembentukan area-area ini menjadi awal dari pembetulan dari mis-management yang dilakukan sebelumnya, dimana pada awalnya hutan dikelola dengan dasar pengelolaan hutan seluas 60.000 ha dan berdampak merugikan bagi hutan sendiri karena mengakibatkan legal logging yang over-estimate . Sesuatu yang dirasa sangat sulit karena perubahan system yang dilakukannnya membutuhkan perjuangan yang bukan ½ hati lagi. Bahkan kehebatan seorang sarjana kehutanan tamatan Wageningen sebagai pembentuk konsep houtvesterij ini menjadikan dia sebagai salah satu kepala seksi perencanaan pada perusahaan Boshwezen yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya perusahaan BUMN kehutanan di Jawa. Dengan demikian “mengapa sampai saat ini rakyat Indonesia terus menjadikan bangsa Belanda sebagai kambing hitam dikarenakan peradaban bangsa Indonesia yang maju secara sangat lambat laun dan bukan menjadikan target utama studi ke Belanda sebagai sarana untuk memperoleh ilmu dari soko guru pengelolaan sumber daya alam (hutan) di Indonesia?” .
Seiring dengan waktu maka perkembangan dunia kehutanan pun akan mengikuti perkembangan yang ada. Tolak ukurnya adalah bukan karena kerusakan hutan di Indonesia melainkan pola pemanfaatan yang dilakukan secara merata dan adil. Hal ini telah dapat dilakukan oleh negeri belanda dimana banyak lulusannya yang memberikan sumbangsih pada berbagai konferensi seperti pada tahun 1978 di Jakarta dengan “Forest For People” yang mengakibatkan berbagai perubahan pada pengelolaan hutan di Indonesia dan dampaknya bisa dirasakan saat ini ketika banyak hutan yang sudah menjadi kawasan kelola masyarakat atau lebih familiar disebut sebagai hutan rakyat.
Sumbangsih lainnya adalah dapat mewujudkan pola pembangunan hutan yang lestari dengan community based (rakyat) sebagai garda depan dalam pelaksanaan kegaiatannya. Perlu rasanya di garis bawahi bahwasannya rakyat tidak diminta untuk memanfaatkan atau meng-ekstrak apa yang ada di dalam hutan tetapi dengan sumbangsih pelajar Indonesia di Belanda dapat menjadikan rakyat sama-sama merasa memiliki sebagai harta bangsa secara keseluruhan.
Inovasi ini bukan lah menjadi sesuatu yang baru lagi karena perkembangan dunia kehutanan sendiri yang cenderung mundur dan sangat tidak dinamis, tetapi yang membuat tetap dikatakan inovasi adalah bagaimana pemikiran yang kemudian muncul dari aspek social para pemikir lulusan negeri Belanda yang bisa membuahkan sesuatu bentuk pengelolaan hutan yang baru di Indonesia. Dan hal ini juga menegaskan bahwasannya “THINK GLOBALLY, ACT LOCALLY” adalah sangat mungkin diterapkan dengan strategi yang “mulus” dari pemikir-pemikir Indonesia-Belanda.
gambar diambil dari buku Aspek Sosio Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa,
karangan Prof. Hasanu Simon, Alumni Wageningen University yang menjadi guru besar di Fakultas Kehutanan UGM
studidibelanda, kompetisiblog
2 komentar:
wew... lulusan Wageningen... saya jd ingin sekali kesana.
.
numpang promo yak,,,
http://areeavicenna.wordpress.com/2010/04/28/batik-dan-belanda-batik-belanda/
^^
me too mbak...
kejar yuk...
Posting Komentar